Ayesha Nadya Muna, The Conversation dan Ika Krismantari, The Conversation
Penutupan sekolah di Indonesia dan penerapan pembelajaran berbasis online akibat pandemi COVID-19 berdampak pada sekitar 68 juta siswa dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi.
Salah satu dari mereka yang terdampak adalah Hazel (16), seorang siswa Sekolah Menengah Atas.
“Kami mendapat lebih banyak pekerjaan rumah daripada materi pelajaran, jadi kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakannya. Terkadang kami begadang hingga pukul 11 malam untuk mengejar tenggat waktu,” cerita Hazel kepada The Conversation Indonesia, baru-baru ini.
Memindahkan kelas secara online juga menimbulkan beban tambahan bagi guru karena mereka harus menggunakan teknologi dalam metode pembelajaran mereka, sebuah keterampilan yang tidak dimiliki banyak orang.
Tantangan lain dari pembelajaran online adalah akses internet dan kesiapan siswa-orangtua yang terbatas, serta kualitas guru yang buruk.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) telah mengusulkan penerapan metode belajar campur atau blended learning – metode pembelajaran yang memadukan pembelajaran online (jarak jauh) dan tatap muka (di kelas) – sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif di tengah pandemi.
Metode belajar campur ini berasal dari praktik pendidikan berbasis teknologi pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Sistem ini menawarkan kursus berbasis situs web, video yang disiarkan secara langsung, dan panggilan konferensi yang dapat digunakan untuk mendukung pendidikan dengan pendekatan tradisional.
Sejumlah negara di Eropa, seperti Jerman, Norwegia, dan Denmark, sudah mulai mengadopsi metode pembelajaran campuran untuk membantu mengadakan kelas di tengah pandemi. Dengan melakukan kelas secara online dan offline, sekolah bisa berjalan dengan baik selama pandemi.
Metode belajar campur mungkin berhasil di Eropa, tapi pelaksanaannya di Indonesia masih sulit meski metode tersebut berpotensi untuk mereformasi sektor pendidikan di negara ini.
Tantangan
Negara-negara di Eropa melakukan pembelajaran campuran dengan membatasi jumlah siswa dalam satu maksimal sebanyak 10-15 siswa dan mengadakan pembelajaran tatap muka dengan online secara bergantian.
Selama pembelajaran tatap muka di kelas, siswa berdiam di dalam kelompok-kelompok kecil. Waktu belajar di kelas juga dipersingkat untuk menghindari infeksi COVID-19.
Beberapa berpendapat bahwa penggunaan metode belajar campur selama pandemi dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan aman karena materi sekolah yang disampaikan secara online dan offline akan mempersingkat waktu belajar.
Namun, penerapan metode ini di Indonesia masih menghadapi banyak kendala – terutama menyangkut pembelajaran online.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa metode ini merupakan metode pembelajaran yang efektif jika siswa dan guru memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menggunakan teknologi.
Kesenjangan digital di Indonesia membawa tantangan untuk metode pembelajaran ini, karena metode ini masih bergantung pada pembelajaran online.
Lismah (52), seorang pengelola PAUD di Cirebon, sudah mencoba untuk menerapkan metode belajar campur selama pandemi ini. Ia mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan kelas secara online karena banyak orang tua siswa yang memiliki sumber daya teknologi yang terbatas.
“Siswa diberi pekerjaan rumah,” kata Lismah. “Para guru mengingatkan orang tua tentang pekerjaan rumah ini melalui grup Whatsapp, tapi kami sadar beberapa orang tua tidak memiliki ponsel.”
Menerapkan metode belajar campur di Indonesia membawa beban tambahan bagi para guru karena mereka diharapkan dapat menguasai dua metode mengajar, yaitu secara jarak jauh dan tatap muka.
“Kami diharapkan bisa bekerja dengan lebih keras. Kami harus mempersiapkan kegiatan pembelajaran baik secara online maupun offline di kelas. Kegiatan-kegiatan tersebut harus sinkron agar tidak saling tumpang tindih dalam mencapai tujuan pembelajaran,” kata Aris (39), seorang guru SMP dari Cirebon, kepada The Conversation Indonesia.
Edi Subkhan, seorang dosen teknologi pendidikan dan kurikulum di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, juga berpendapat bahwa sekolah dan guru harus terlebih dulu memiliki kapasitas tertentu untuk menerapkan metode pembelajaran ini.
“Ada guru-guru yang mampu menerapkan metode ini karena mereka memiliki keterampilan untuk mengoperasikan berbagai teknologi, tapi ada juga guru yang belum paham betul apa itu pembelajaran online, bahkan pembelajaran campuran,” ujarnya.
Kembali ke sekolah di tengah pandemi, bahkan dalam suasana dengan metode belajar campur, dapat terasa meresahkan. Apalagi ketika murid sudah lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka di kelas.
Zamzami Zainudin, seorang peneliti dari University of Hong Kong, menjelaskan tantangan untuk membiasakan siswa kembali dengan pembelajaran tatap muka.
“Banyak siswa yang menjadi terlalu nyaman dengan pembelajaran jarak jauh karena mereka lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka. Jadi saat pembelajaran di dalam kelas dilanjutkan kembali, mereka perlu diingatkan kembali. Hal ini menjadi tantangan guru untuk memotivasi mereka kembali,” kata Zamzami.
Tantangan lain terkait menjaga kesehatan dan keselamatan selama kegiatan pembelajaran di kelas. Sekitar 20% orang Indonesia masih tidak memakai masker saat bepergian ke luar.
Indonesia memiliki tingkat kematian akibat COVID-19 yang tertinggi di Asia Tenggara dengan 7.417 kematian terhitung 31 Agustus. Indonesia juga mencatat jumlah infeksi COVID-19 tertinggi kedua di Asia Tenggara dengan 174.796 kasus – di belakang Filipina yang memiliki 220.819 kasus.
Peluang yang berkembang
Meskipun metode belajar campur baru diterapkan oleh beberapa sekolah yang telah melaksanakan uji coba, terdapat peluang untuk menerapkan metode ini sebagai bagian dari reformasi pendidikan Indonesia selama pandemi.
Aris berpendapat bahwa penerapan pembelajaran campuran pada masa pandemi dapat meningkatkan kemampuan guru untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh yang efektif, terutama terkait penggunaan teknologi.
“Suka atau tidak suka, guru dituntut untuk kreatif dalam menggunakan teknologi informasi. Kami harus memilih teknologi mana yang cocok dengan kegiatan pembelajaran, mempelajari cara menggunakannya, kemudian mengevaluasi bagaimana kami menggunakannya untuk melihat kesesuaiannya dalam kegiatan pembelajaran tersebut,” kata Aris.
Edi mendukung gagasan ini. Menurut dia, metode belajar campur dapat menjadi langkah awal menuju sistem pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Mengingat keterbatasan infrastruktur, literasi digital, dan kesejahteraan ekonomi di Indonesia, mengembangkan sistem pendidikan semacam ini harus dilakukan secara bertahap.
“Dengan fleksibilitas yang dimiliki metode ini dalam memadukan pembelajaran online dan tatap muka, kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak memaksakan sepenuhnya berbasis internet, karena kita juga mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi dan geografis Indonesia,” ujarnya.
Zamzami menambahkan bahwa metode belajar campur juga akan membuka pintu bagi teknologi-teknologi yang sedang berkembang di sektor pendidikan Indonesia, seperti augmented reality dan komputasi.
“Banyak teknologi baru di bidang pendidikan yang masih terbatas di Indonesia. Pembelajaran campuran adalah bentuk teknologi paling sederhana yang bisa kita mulai terapkan,” kata Zamzami.
Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Ayesha Nadya Muna, Editor, The Conversation dan Ika Krismantari, Head of Editorial, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.