Hasil riset, alasan pentingnya dibuka kembali sekolahan pada 2021

  • by

Lukman Solihin, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry dan Amaliah Fitriah, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan ‘Sembilan Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia’.


Ketika jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia belum juga mereda, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memperbolehkan sekolah di seluruh Indonesia untuk buka kembali pada Januari 2021 meski keputusan akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah daerah, dinas pendidikan daerah, dan juga orang tua melalui komite sekolah.

Sontak saja, keputusan ini memicu perdebatan.

Ada pihak yang menolak rencana tersebut karena masih tingginya kasus penyebaran COVID-19 di Indonesia, namun ada yang mendukung akibat dampak buruk dari pembelajaran jarak jauh yang tidak optimal.

Melalui tulisan ini, kami sebagai peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencoba memberi penjelasan mengapa pemerintah memutuskan membolehkan membuka sekolah kembali di tengah pandemi.

Keputusan untuk membuka kembali sekolah

Setidaknya ada tiga faktor mengapa pemerintah memutuskan untuk membolehkan sekolah kembali beraktivitas normal.

Pertama, berbagai riset membuktikan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh selama pandemi tidak menunjukkan hasil yang optimal.

Misalnya, masalah gap akses internet dan infrastuktur teknologi pendidikan yang tidak merata di Indonesia, kurangnya pendampingan orang tua terhadap proses belajar anak, hingga kapasitas guru yang belum baik dalam melaksanakan pembelajaran daring menjadi tiga alasan utama mengapa anak tidak bisa belajar dengan optimal lewat pembelajaran daring.

Penyelenggaraan proses belajar dari rumah yang tidak optimal ini membuat hasil capaian belajar menurun.

Bank Dunia, misalnya, memperkirakan hasil capaian belajar dari rumah rata-rata hanya sebesar 33% dari capaian belajar normal di dalam kelas.

Hal ini diprediksi akan menurunkan skor membaca siswa Indonesia pada penilaian Programme for International Students Assessment (PISA) menjadi 360, 355, dan 350 burturut-turut apabila sekolah ditutup selama 4 bulan, 6 bulan, dan 8 bulan, dari yang sebelumnya sudah buruk yakni 371 (di bawah rerata 79 negara peserta) pada tahun 2018.

Kedua, proses belajar dari rumah yang belum lancar juga dapat berdampak pada kondisi ekonomi siswa.

Riset Bank Dunia yang sama juga memperkirakan penutupan sekolah selama 4 bulan akan mengakibatkan siswa Indonesia kehilangan pendapatan sekitar Rp 3,5 juta per tahun akibat menurunnya kompetensi siswa yang berdampak sepanjang karir mereka.

Angka ini bahkan bisa mencapai Rp 5,2 juta per tahun jika ditutup selama 8 bulan.

Ketiga, risiko lain yang juga mengkhawatirkan adalah menurunnya kesehatan mental siswa.

Survei di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami depresi meningkat setidaknya lima kali lebih tinggi dibandingkan data pada tahun 2018.

Survei yang dilakukan Satuan Tugas Ikatan Psikologi Klinis Indonesia untuk Penanganan COVID-19 pada 194 pusat layanan psikologi di 27 wilayah menunjukkan bahwa keluhan terbanyak (27,2% dari setidaknya 15.000 klien) selama Maret hingga Agustus berasal dari anak dan remaja yang stres akibat pembelajaran dari rumah.

Berbagai temuan di atas sempat mendorong pemerintah merelaksasi pembukaan sekolah terutama di zona kuning pada 7 Agustus lalu.

Keputusan untuk membuka sekolah di daerah zona kuning sayangnya belum berdampak banyak karena mayoritas sekolah belum melakukan pembelajaran tatap muka.

Di zona kuning, misalnya, baru 20% sekolah yang telah mengadakan pembelajaran tatap muka, dengan jumlah yang lebih rendah lagi untuk zona oranye dan merah. Padahal, siswa di ketiga zona tersebut jumlahnya sekitar 94% dari total peserta didik nasional.

Sekolah masih perlu memperbaiki sarana dan pendataan kesehatan

Survei kami pada pertengahan tahun ini yang melibatkan 11.054 orang tua, 158 dinas pendidikan, 5.527 kepala sekolah, dan 77.746 guru di 34 provinsi menunjukkan orang tua sangat mementingkan faktor kesehatan di sekolah.

Aspek yang dianggap penting adalah fasilitas cuci tangan, sanitasi, dan desinfektan (85%); protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan pembatasan jumlah siswa di kelas (86%); kerja sama dengan fasilitas kesehatan terdekat (61%); dan keamanan transportasi anak menuju dan dari sekolah (59%).

Temuan tersebut merekomendasikan pentingnya sekolah untuk menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan sebelum memutuskan kembali untuk menerima anak didiknya belajar di kelas.

Sayangnya, survei kami di atas juga menemukan belum semua sekolah memiliki kapasitas untuk menjamin kesehatan murid selama masa pandemi.

Meskipun 94% sekolah memiliki sumber air bersih, hanya sekitar 66% sarana toilet sekolah berada dalam kondisi baik — selebihnya masih buruk atau bahkan tidak ada.

Kemudian, meskipun terdapat sekitar 85% sekolah yang memiliki sarana cuci tangan, hanya 60% yang memiliki alat pengukur suhu tubuh dan 58% yang memiliki ruang UKS.

Survei Indikator Penyelenggaraan Layanan Pendidikan tahun 2019 dari Bank Dunia juga memperlihatkan terdapat keterbatasan sumber air, sanitasi, dan fasilitas kebersihan di sekolah.

Hanya 50% madrasah di bawah Kementerian Agama dan 56% sekolah di bawah Kemendikbud yang disurvei memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun. Data itu juga menunjukkan bahwa fasilitas kebersihan sekolah di perkotaan jauh lebih baik daripada sekolah di pedesaan.

Selain itu, pendataan kesehatan warga sekolah juga masih belum optimal.

Data survei menunjukkan sudah sekitar 82% dinas pendidikan dan 78% sekolah yang melakukan pendataan kondisi kesehatan warga sekolah. Artinya, terdapat sejumlah dinas dan sekolah yang belum melakukan pendataan.

Pendataan tersebut umumnya baru dilakukan satu kali pada awal masa penerapan belajar dari rumah. Mengingat kondisi penularan COVID-19 yang akhir-akhir ini terus meningkat, pendataan perlu terus diperbaharui secara berkala untuk memastikan kesehatan warga sekolah sebagai langkah deteksi dini dan pemantauan secara berkala.

Lukman Solihin, Researcher, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry dan Amaliah Fitriah, Policy Analyst, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *